Artikel ini aku tulis akibat keprihatinanku tentang pendidikan Indonesia yang bisa dibilang 'rempong'. Artikel ini juga ada berkat cerita teman-temanku yang sekolah di SMA maupun di SMK tentang pendidikan yang mereka jalani dan salah satu buku bisnis karya Bambang Trim, Vaksin Bussiness for Kids. Di buku itu tertulis, enterpreneur adalah orang yang rajin dan pandai bergaul. Aku langsung membenarkan pernyataan tersebut. Dan itulah yang juga membuatku terinspirasi untuk membuat artikel essai ini...
Jiwa Enterpreneur Terpendam, Api Produktivitas Anak Bangsa Memadam
Waktu itu, aku baca di salah satu buku bisnis karya Bambang Trim, Vaksin Bussiness for Kids. Di buku itu tertulis, enterpreneur adalah orang yang rajin dan pandai bergaul. Aku langsung membenarkan pernyataan tersebut. Dan itulah yang membuatku terinspirasi untuk membuat artikel essai ini...
Di Iindonesia, kita tahu ada 2 jenis pendidikan menengah atas yang dapat kita pilih, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMk). Kedua jenis sekolah ini punya perbedaan yang sangat mencolok. Anak SMA lebih banyak bergelut dalam teori-teori karena akan dipersiapkann untuk masuk ke Perguruan Tinggi untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut. Sementara anak SMK, mereka sudah dipersiapkan untuk SIAP KERJA a.k.a jadi enterpreneur (atau boleh juga lanjut kuliah dulu). Tapi. ironisnya ini menimbulkan ketidakseimbangan pada kedua jenis pendidikan tersebut. Anak SMA dinilai lebih "pintar" dan "berisi" dibandingkan anak SMK. Sementara itu, anak SMK dinilai lebih "terampil" dan "produtif" dibandingkan anak SMA.
Disinal letak masalahnya. Bisa dilihat dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, anak SMA juga diberikan praktek. Namun tergantung kepada gurunya lagi, apa dia akan memberikan praktek pada siswanya atau tidak. Ironisnya, para guru di Indonesia sejak zaman 'baheula', lebih memntingkan kemampuan kognitif (pengetahuan) ketimbang pengetahuan motoris (praktikal). Seolah ingin mengubah anak didiknya menjadi filsuf dan ilmuwan, kebanyakan guru hanya mengajarkan teori tanpa mengajar praktek, Nasib anak SMA sungguh terdengar miris di telinga kita.
Mungkin, inilah akar pemikiran Mendikbud Muhammad Nuh dahulu, yang ingin menyisipkan pendidikan karakter dan kewirausahaan di Kurikulum 2013 (K13). Tapi ujung-ujungnya, kurikulum tersebut dinilai terlalu rumit dan kompleks sehingga Mendikbud baru menyarankan untuk memberhentikan kurikulum tersebut. Ini langsung menimbulkan kebingungan di kalangan guru-guru sekolah. Sebagian ada yang ikut pemerintah, sebagian ada yang tetap lanjut terus dan berusaha untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah percontohan dengan kurikulu tersebut. Dan, sekolahku memilih untuk mengikuti pemerintah dan kembali ke KTSP 2006.
Tapi, kadang aku mengeluh. Lagi-lagi karena jarangnya praktek Bahasa Inggris yang sebenarnya ada listening dan speaking. Kami lebih sering listening dibanding speaking. Sedangkan bahasa sendiri, Bahasa Indonesia ada mendengar dan berbicara, setiap kali dipanggil di depan kelas untuk berbicara, kami selalu merasa gugup karena takut salah. Jadilah, hampir semua mata pelajaran sekolah kami terancam JARANG PRAKTEK.
"Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan?"
Kalau sudah begini, (kami, anak SMA yang jarang praktek) bagaimana kita dapat menciptakan jiwa-jiba enterpreneur muda yang kreatif, inovatif, tanggung jawab, jujur, rajin, dan komunikatif di tengah-tengah kondisi guru SMA Indonesia yang lebih mementingkan teori belaka?. Kemana semua jiwa enterpreneur yang kita sudah miliki sejak lahir ini?. Disitulah aku merasa iri dengan anak SMK...
Namun ternyata, anak SMK juga tidak sebaik itu. Mereka dijuruskan berdasarkan NILAI sama seperti anak SMA. Ingat, mereka dijurukskan berdasarkan NILAI. Dengan begini, kita bisa ambil kemungkinan anak SMA sama dengan anak SMK: Pertama, belum tentu jurusan di mana mereka ditempatkan sesuai dengan minat dan bakatnya, Otomatis, dengan begini mereka belum tentu dapat menerima pelajaran dengan baik. Kedua, adanya "Faktor X", paksaan orangtua. Jangan dianggap sepele, sekarang masih banyak orangtua yang memaksa anaknya untuk masuk ke jurusan tertentu. Sama seperti yang pertama, mereka tidak dapat menerima pelajaran dengan baik dan dapat juga mengalami tekanan batin karena paksaan orangtuanya.
Dari sini aku dapat menyimpulkan:
Sistem pendidikan Indonesia sebenarnya sudah bagus. Namun, guru-guru Indonesia harusnya lebih mendalami lagi tentang pendidikan karakter yang sebenarnya. Untuk orangtua-orangtua Indonesia, haruslah dapat mengetahui bakat anak-anaknya dengan baik (dapat dilakukan dengan Tes Bakat dan Minat secara online maupun offline). Ingat, setiap anak punya kelebihan masing-masing, kita harus mendukung kelebihan itu, bukan memaksa anak untuk masuk ke jurusan yang tidak sesuai dengan minak anak. Buat teman-teman penerus bangsa juga, kita tidak harus melulu bergantung pada gadget yang canggih untuk mengerjakan 'semua' hal, bermalas-malasan, acuh tak acuh, serta pasif. Kita dapat mengandalkan kemampuan kita sendiri, kok untuk menjadi produktif dan inovatif. Ingat, tahun ini, kita ikut ASEAN Free Trade Area (AFTA), kita akan bersaing di 'pasar bebas' ASEAN. Untuk itu, kita harus menunjukkan kemampuan kita sebagai anak Indonesia.
[Makassar, 03 Mei 2015]