Jangan pernah tanya apa suku saya!


Saya ini berdarah campuran. Setengah darah Gorontalo dari Ayah dan Jawa dari Ibu. Makanya di rumah itu lucu, karena kami memiliki banyak logat. 50 persennya adalah logat Indonesia pada umumnya, semetara sisanya adalah logat Jawa, Gorontalo, dan Makassar. Selain itu, saya dan adik saya punya karakter setengah-setengah. Kami dididik layaknya orang Jawa yang harus patuh pada orangtua. Tapi, kami memiliki sifat keras kepala khas orang Sulawesi.

Selain blasteran, saya juga hidup  pindah-pindah. Pekerjaan Ayah sayalah yang membuat saya seperti ini. Dari kuliah memang Ayah sudah belajar jadi anak rantau. Dia hijrah ke Jakarta meninggalkan keluarganya di Gorontalo demi mengejar cita-cita. Pindah-pindah telah melatih Ayah termasuk kami anggota keluarga lain untuk belajar banyak logat.

Kehidupan nomaden kami dimulai dua tahun setelah saat saya lahir. Dari Bekasi kami pindah ke Banjarmasin. Saat itu logat Banjar belum memengaruhi saya karena saya baru belajar untuk bertutur kata. Dari Kota Seribu Sungai, Kota Hujan adalah destinasi kami untuk tinggal berikutnya. Saya menetap disana selama 9 tahun lamanya. Namun menetap disana, dan  belajar Bahasa Sunda selama 6 tahun di Sekolah Dasar tak menjadikan saya mahir Bahasa Sunda. Hanya setengah-setengah dapat mengartikan saat mendengar, tapi tak bisa menuturkannya.

Lidah saya kembali harus beradaptasi lagi saat kami pindah ke tanah Ayah, Gorontalo. 2 tahun lamanya saya disana. Telinga saya sudah bisa mendengarkan logat itu, namun tidak untuk pelafalannya. Saya harus terbata-bata mengikuti cara mereka bertutur untuk pertama kali. Huruf ‘e’ di sana di ucapkan serupa huruf ‘o’. Jika kita bilang ‘membeli’, orang Gorontalo bilang ‘momboli’.

Lagi, pindah ke Kota Daeng Makassar menjadi cobaan buat lidah saya. Kaku-kaku lidah kembali saya rasakan ketika belajar mengucapkan logat yang ‘lucu’ di telinga saya itu. Dalam bahasa mereka, kata yang akhirannya ‘n’ dibaca ‘ng’. Sementara kata yang akhirannya ‘ng’ dibaca ‘n’. Empat tahun saya bertahan dengan logat yang kadang menggelitik buat saya itu. Namun, meski aneh, justru logat inilah yang paling melekat di ingatan saya.

Sekarang, di Jakarta saya merasa lega, karena tak perlu mengalami kaku-kaku lidah lagi. Namun,  tetap saja saya gelagapan saat mereka tanya saya orang mana dan suku apa. Menguasai banyak logat membuat saya kebingungan mau bilang apa.

“Jangan tanya saya suku apa!”.

Saya rasa itulah jawaban yang tepat untuk pertanyaan mereka, mengingat saya memiliki krisis identitas mengenai kesukuan.

Jakarta, 13 Oktober 2016

0 comments